Rajahan atau Aksara Pada Pusaka

Aksara/Tulisan dan Bahasa di dalam Keris - Setiap Hari Ulang Tahun Taman Mini Indonesia Indah selalu mengadakan pameran bersama museum-museum se Indonesia. Kali ini telah terlaksana yang ke 5 kalinya. Adapun Pameran Museum kali ini mengangkat tema Aksara dan Bahasa. 


Aksara dan bahasa daerah sangat beraneka ragam, setiap aksara daerah memiliki latara belakang sejarah, nilai serta gaya dan bentuk yang unik. Aksara dan bahasa merupakan kesatuan bentuk komunikasi, dapat memperlihatkan tradisi tulis dan tutur bangsa kita dan menjadi identitas budaya lokal. Namun pada saat ini aksara dan bahasa nusantara mulai terancam punah. Dalam hal ini museum memiliki peran strategis menjadi lembaga yang memelihara mengkomunikasikan, serta mengajak partisipasi masyarakat untuk besama-sama merawat warisan budaya agar tetap lestari. Adapun museum yang tidak memiliki koleksi terkait aksara dan bahasa dapat pula berupa simbol-simbol kode, lambang, sandi atau hal lain yang dapat menjadi produk tulis untuk komunikasi dan informasi.


Museum Pusaka yang ada di TMII, kali ini memamerkan koleksi-koleksi pusaka langka terkait pameran keris dengan tema aksara dan bahasa daerah ada dari Banten, berupa Golok Ciomas Rajah Arab ; Keris Kinatah Emas Rajah Asmaul Husna ; Keris Pusaka Nagasasra ; Keris Sabuk Inten. Diciptakan benda keris pada masa dulu penuh dengan laku yang banyak mengandung arti dan makna.

Keris Kinatah Emas Rajah Asmaul Husna

Jenis benda : Keris Dhapur Carubuk, Tangguh Madura, Pamor Keleng (Kinatah emas rajah Asmaul Husna), Abad XX, Luk 7, Hulu Solo (Surakarta), Warangka Ladrang Solo Kayu Finisia, Berat Brutto 318 Gram, Panjang 35,7 Cm.

Asmaul Husnah artinya (Ismi = Nama, Husna = Baik, Indah), nama-nama yang maha indah dari Allah SWT sendiri. Nama-nama itu jumlahnya ada Sembilan Puluh Sembilan buah, yang sekaligus juga menunjukkan sifat-sifat Allah SWT yang maha sempurna.

Asmaul Husna tersebar dalam ayat-ayat Al-Quran dan Hadits Nabi, Abdullah Sani dalam bukunya Asmaul Husna dalam komentar mengungkapkan bahwa menurut penelitiannya diantara nama-nama itu 76 nama terdapat dalam Al-Quran, sedangkan 23 nama lagi terdapat dalam Hadits. Asmaul Husna sebagai nama-nama nan indah dari Allah SWT diungkapkan secara terperinci dalam hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a.

Golok Ciomas Banten Serasah Wafak dan Rajah Arab

Golok Ciomas

Jenis benda : Pedang pendek, dhapur Golok, Tangguh Ciomas Banten, Pamor Keleng, Warangka terbuat dari kayu, Dibungkus kain hitam, pariasi tulang dan tanduk, ukiran I hulu dari tanduk motif wayang. Berat brutto 445 Gram, panjang 26,9 Cm. Pusaka ini sumbangan dari Sekretaris Militer (SEKMIL) dan pusaka ini milik Kyai Lampuyung dari Banten.

Golok Ciomas merupakan salah satu senjata khas dari Banten, khususnya di daerah Ciomas. Golok ini sangat terkenal karena ketajamannya dan mistis yang terkandung didalamnya.

Pada jaman penjajahan para Jawara menggunakan golok ini untuk mengusir dari daerahnya. Golok ini tidak bisa dimiliki oleh sembarang orang karena dalam perawatannya tidak sembarangan.

Golok Ciomas terkenal karena keseimbangan bentuk, ketajaman dan kehalusan penempaan dan tanpa hiasan huruf-huruf arab yang biasanya mewarnai senjata tajam keramat, di laur bentuk fisiknya, Golok Ciomas terkenal dengan kekuatan mistis dan racun yang terkandung dalam besi inti. Dalam prosesnya, besi inti ini dicampur dengan besi biasa yang mudah bisa kita dapatkan dipasaran.

Golok ini tidak boleh digunakan untuk keperluan sehari-hari, seperti memotong dan menebang tanaman, memotong hewan atau keperluan dapur. Sebab diyakini, racun dalam golok akan menyebar dan akan menyebabkan kematian. Bahkan kekuatan mistisnya diyakini dapat menyengsarakan keluarga yang menyalahgunakan golok ini.

Pertunjukan debus di Banten seperti atraksi memotong lidah, tangan, kaki, atau membacok anggota tubuhnya banyak yang menggunakan golok ini sebagai tolak ukur, jika golok jenis ini tidak mempan di tubuh orang, maka hampir bisa dipastikan kekebalan serupa akan terjadi seandainya dihantam dengan golok lain.

Keris Pusaka Nagasasra

keris nogo sosro

Jenis benda : keris dhapur Nagasastra sinarasah emas, Tangguh Mataram Sultan Agung, abad XVI, Pamor Wengkon, Warangka gayaman Yogya, kayu timoho, Ukiran/hulu model Yogya kayu kemuning. Tuah/manfaat keris ini untuk melindungi pemiliknya dari perbuatan orang yang tidak baik.

Keris Pusaka Nagasastra, pusaka peninggalan Raja Mataram Sultan Agung. Nagasasra adalah nama salah satu dhapur (bentuk) keris luk tiga belas dan ada pula yang luk-nya berjumlah sembilan dan sebelas, sehingga penyebutan nama dhapur ini harus disertai dengan menyatakan jumlah luk-nya.

Bagian gandhik keris ini diukir dengan bentuk  kepala naga (biasanya berbentuk mahkota raja yang beragam), sedangkan badannya digambarkan dengan sisik yang halus mengikuti luk pada tengah bilah sampai ke ujung keris. Dengan ciri-ciri antara lain adalah kruwingan, ri pandan, dan greneng, dan beberapa empu (berdasarkan zamannya seperti Majapahit, Mataram dan Mataram Nom) membuat keris berdhapur nagasasra.

Pada keris dhapur Nagasasra yang baik, sebagian besar bilahnya diberikan kinatah emas dan pembuatan kinatah emas semacam ini tidak disusulkan setelah wilah selesai, tetapi telah dirancang oleh sang empu sejak awal pembuatannya. Pada tahap penyelesaian akhir, sang empu sudah membuat bentuk kinatah (yang benar adalah tinatah = kata 'tatah' yang artinya dalam bahasa Indonesia = pahat dengan sisipan in, menjadi tinatah) sesuai rancangannya. Bagian-bagian yang kelak akan dipasang emas diberi alur khusus untuk tempat pemasangan kedudukan emas dan setelah penyelesaian wilah selesai, maka dilanjutkan dengan penempelan emas oleh pande emas.

Salah satu pembuat keris dengan dhapur Nagasasra terbaik adalah karya Empu Ki Nom, merupakan seorang Empu yang terkenal dan hidup pada akhir zaman kerajaan Majapahit sampai pada zaman pemerintahan Sri Sultan Agung Anyokrokusumo di Mataram, sebenarnya adalah cucu dari Empu Supo Anom yang hidup pada zaman Majapaahit dan golongan ini menyebut Ki Nom dengan sebutan Ki Supo Anom II dan yang hidup pada zaman Majapahit disebut Ki Supo Anom I.

Keris Sabuk Inten

keris sabuk inten

Jenis benda : Keris, dhapur Sabuk Inten, Pamor pendaringan kebak, tangguh Mataram Senopaten, abad XV, Luk 11, berat 130 Gram, panjang 34,9 Cm, Warangka Gayaman Solo, Pendok Model Solo (Surakarta).

Khasiat Pamor Pendaringan Kebak ini ditinjau dari gambaran motifnya sangat mirip dengan pamor wos wutah. Ditinjau dari sudut arti namanya pun ada kaitannya. Wos Wutah artinya Beras Tumpah, sedangkan Pendaringan Kebak artinya peti beras yang penuh. Kata "pendaringan" artinya peti beras. Dulu orang Jawa umumnya menyimpan beras dalam sebuah peti besar terbuat dari kayu. Dari segi bentuk gambaran pamornya, pendaringan kebak lebih ruwet dibandingkan dengan bentuk gambaran pamor wos wutah. Pamor ini boleh dikatakan menempati hampir seluruh permukaan keris, tidak mengelompok menjadi beberapa bagian. Sedangkan tuahnya lebih kurang sama dengan tuah pamor wos wutah hanya lebih kuat pamor ini, yaitu ketentraman rumah tangga, karier, memudahkan datangnya rezeki dan juga sebagai penolak bencana. Pamor ini tidak pemilih artinya siapa saja cocok memiliki keris dengan pamor ini. Sedangkan keris sabuk inten mempunyai tambahan khasiat multi fungsi diantaranya untuk jabatan dan mudah mengendalikan orang banyak, karena itu keris sabuk inten banyak dipakai kalangan keluarga kerajaan.

Keterangan tambahan : keris yang tak kalah legendaris dari zaman peralihan Majapahit dan Demak Bintoro adalah Sabun Inten. Keris berluk 11 ini muncul dan terkenal bersama Keris Nogososro. Dua keris ini disebut-sebut sebagai warisan zaman Majapahit. Keduanya bahkan sering disebut dalam satu rangkaian Nogososro-Sabuk Inten. Tak lain karena kedua keris ini diyakini sebagai sepasang lambang karahayon atau kemakmuran sebuah kerajaan. Nogososro mewakili wahyu keprabon yang  hilang dari tahta Demak dan Sabuk Inten mewakili kemuliaan dan kejayaannya.

Banyak versi telah mengungkap legenda keris Nogososro dan Sabuk Inten. Namun di zaman modern seperti sekarang, keris berdhapur Sabuk Inten lebih menarik minat seseorang untuk memilikinya. Tak lain karena keris tersebut diyakini bisa melancarkan rejeki dan mendatangkan kemuliaan. Sejak zaman Majapahit, Keris Sabuk Inten memang sudah mewakili golongan bangsawan atau kaum mapan, sehingga diperangi oleh keris Sengkelat yang mewakili kaum marjinal atau golongan rakyat jelata yang merasa terpinggirkan. Dua keris yang melambangkan situasi perpecahan di masa akhir Majapahit ini lalu memunculkan keinginan untuk bersatu padu yang juga dimanifestasikan dalam bentuk keris Condong Campur. Setelah berabad abad lamanya waktu berpilin, pamor keris berikut legendanya masih dipercaya kebenarannya. Nogososro sebagai simbol wahyu keprabon yang hilang dari Keraton Demak, dulu sering diburu oleh para calon pemimpin atau presiden dipercaya sebagai simbol wakyu kepemimpinan.

0 Response to "Rajahan atau Aksara Pada Pusaka"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel