Masyarakat Solo dan Pandangannya Mengenai Keris

Masyarakat Solo masih memandang keris sebagai salah satu pusat budaya Jawa, Surakarta sangat kaya akan simbol-simbol kebudayaan. Bagi sebagian besar masyarakat Solo, keberadaan keris masih dianggap sinengker dan dikeramatkan.

Pandangan Masyarakat Solo mengenai Keris

Keris itu sinengker karena aris artinya ada rahasia yang di pendam di dalamnya. "Rahasia tak lain adalah falsafah Jawa," kata Wakil Pengageng Sasana Wilapa Kusuma. Sebagian besar masyarakat Solo bahkan lebih memahami keris sebagai benda pusaka, suatu jimat yang diyakini mampu memberikan berkah dan membantu melakukan kemudahan-kemudahan dalam usahanya.

Sayangnya, falsafah kehidupan yang terkandung dalam keris belum banyak diketahui. Sebagian besar masyarakat Solo bahkan lebih memahami keris sebagai senjata pusaka, jimat yang mampu berkah dan kemudahan. "Masyarakat masih pada mitos karena kita telah kehilangan akar budaya. Tulisan berisi ajaran keris dijarah Belanda dan Inggris, dipelajari disana dan kit hanya ditunggali takhyulnya. Keris unggul dianggap sakti, padahal yang sakti sebenarnya orangnya," jelas Winarno.


Menurut kerabat keraton yang juga pelaku budaya itu, anggapan bahwa keris merupakan benda sakti seperti itu tak sepenuhnya salah. Sebab pada awalnya keris memang dikenal sebagai benda pusaka, benda sakti yang merupakan salah satu senjata pamungkas kerajaan, ironisnya para orang tua atau mereka yang tau mengenai keris, terus-menerus menanamkan pemahaman "kesaktiaan" keris kepada generasi berikutnya, bahkan ketika zaman telah berubah. Banyak orang tua yang mengingatkan anaknya agar tidak menyentuh keris, karena keris itu berbahaya dan sakti. Akibatnya sampai sekarang masih ada sebagian masyarakat yang memanfaatkannya sebagai jimat," tambah dia.

Namun diluar mitos kesaktian keris, Winarno mengungkapkan, bagi sebagian besar masyarakat Solo, keris hingga kini masih memiliki tempat yang tinggi dalam khasanah budaya yang hidup. Keris tidak lagi dilihat sebagai sekadar senjata, tetapi sebagai benda yang sakral. Hampir seluruh ritual budaya dan kesenian di lingkungan keraton dan ritual-ritual kejawen, misalnya tetap melibatkan keris sebagai perlengkapan utama.

Pandangan Masyarakat Solo mengenai Keris

Pada tataran budaya, anggapan sakral masyarakat terhadap keris sangat kental. Menurut Sukamdi, pengrajin keris di Banyu Angung, Solo, tataran budaya yang dimaksud misalnya menempatkan keris dalam ritual-ritual kebudayaan-baik di dalam atau diluar lingkungan keraton. Dalam acara mantenan (nikahan), masyarakat Solo masih selalu menyertakan keris. Keris disini bukan sebagai lambang kesombongan, tetapi justru menjadi simbol kerendahhatian. Nilai-nilai luhur keris seperti itulah yang seharusnya diajarkan," jelas Sukamdi.

Sementara pada tataran sosial, menurut pelaku budaya yang juga pengrajin keris Ronggojati Sugiyatno, sebagian besar masyarakat Solo masih menempatkan keris dalam ruang-ruang khusus, merawat, dan menyakininya sebagai kekuatan yang mampu memberikan "pertolongan", jika mereka menghadapi kondisi sulit. "Masyarakat Solo masih percaya bahwa keris merupakan sebuah simbol kekuatan leluhur dan alam semesta," katanya.

Pandangan Masyarakat Solo mengenai Keris

Sugiyatno menjelaskan selama ini banyak orang yang salah kaprah dan tersesat pada mitos mengenai keris. Banyak orang menganggap bahwa keris yang bagus adalah keris yang mengandung kekuatan ghaib sehingga mampu mendatangkan rezeki, memberikan kewibawaan dan bahkan jabatan. Orang-orang tersebut pun datang ke pembuat keris, kolektor atau pedagang keris dan membei dengan harga berapa pun asal mendapatkan keris yang digdaya, keris yang sakti, keris yang mereka kira mampu memberikan banyak kemudahan. "Mahalnya keris bukan karena keris itu isi atau mempunyai kekuatan ghaib, tetapi salah satunya karena sisi artistiknya. Keris sebagai karya seni. Harganya akan lebih mahal lagi jika keris itu memiliki jejak sejarah yang kuat,"ujar Sugiyatno.

Keindahan keris akan semakin terlihat pada seni hidup dan filosifinya. Sebab pada dasarnya budaya keris itu adalah seni kehidupan. Filosofi keris harus dimasukkan dalam kehidupan supaya manusia lebih bermartabat. Oleh karena itu keris harus didalami filosofinya. Keris bukan sekadar senjata tajam, karena di dalam keris tersimpan simbolisasi hidup baik sesuai dengan etika, norma, agama dan tatanan negara. "Sayangnya tidak banyak masyarakat yang tahu pemahaman seperti itu. Bahkan masyarakat Solo yang nota bene tinggal di pusat kebudayaan Jawa pun tidak banyak yang tau. Mereka taunya keris itu keramat. Sudah itu thok," ujar Sugiyatno yang juga mengkoleksi puluhan keris klasik tangguh Surakarta karya Empu Brojoguna, Brojokarya, Brojo Sentika, dan Empu Japan.

Namun Sugiyatno mengakui ada beberapa jenis besi (sebagai bahan dasar keris) yang memiliki aura tertentu. Aura tersebut semacam candra (kode alam), seperti halnya yang terkandung dalam batu mulia atau benda-benda alam lain. Dia mencontohkan adanya dua jenis besi yang tidak bisa disatukan, yaitu Pulosane (besi yang urat-uratnya seperti batu asih, berwarna hijau keperakan) dan Kamboja (besi yang warnanya keputihan, urat-uratnya berwarna hijau gadung gemerlapan). "Kalau nekat disatukan dalam satu keris, maka keris itu akan cepat rusak. Kalau dua keris yang berbahan besi itu saling didekatkan, ya akan saling bertolak. Bukan kerena keris itu sakti, tapi karena materi dasarnya sudah berlawanan,' jelas dia.

Sugiyatno juga menyebutkan beberapa jenis ukir yang memiliki makna. Ukir Sekar Sri Mulyo, misalnya, bermakna harapan agar pemilik keris hidup sukses, atau Sekar Mudang, dimana pemilik keris dapat dipercaya, menjaga kehormatan, dan bertanggungjawab terhadap keluarga. "Sebuah ironi memang. Kota Solo yang selama ini dikenal sebagai pusat kebudayaan Jawa, sebagian besar masyarakat belum memaknai keris sebagai proses karya yang penuh makna."

Winarno Kusuma menambahkan selain sebagai karya seni yang agung, pihak keraton juga memandang keris sebagai pelengkap ritual budaya, ia mencontohkan bahwa Raja harus mengenakan keris ketika dalam prosesi ritual Tingalan Jumenengan. "Keris disini diperlukan karena untuk melengkapi busana Raja, jadi bukan karena keris itu dianggap sakti atau mempunyai kekuatan magis," jelasnya.  

Winarno mengutip pesan bijak yang disampaikan Paku Buwono X, bahwa keris merupakan bagian terpenting dalam kelompok tosan aji (senjata pusaka) yang di masa silam melambangkan status dan kewibawaan seorang manusia Jawa. Dalam dunia tosan aji, manusia merumuskan doa yang diwujudkan dalam bentuk pusaka keris. Doa itu dilantunkan dalam laku - mulai dari tapa, matiraga, tapa bisu dan lainnya. "Jadi keris sesungguhnya media untuk berdoa. Cita-cita dan harapan manusia Jawa yang menentramkan dalam keris. Ia adalah sebuah keyakinan dan buku hidup. Wujud keris yang ber-luk (berlekuk) adalah simbol kebijaksanaan, sedangkan keris lurus adalah simbol keteguhan prinsip. Kebijaksanaan dan tekad itu harus seimbang dan akhirnya bermuara ke atas (Tuhan), karena itu, keris ujungnya lancip," ujar Winarno.

Subandi, pengrajin keris asal Jaten, Karanganyar, Jawa Tengah, juga menyatakan hal yang senada dengan Winarno. Dalam kasanah budaya di Solo, peran keris memang masih kental.  Para penggemar keris di Solo pun sebagian besar adalah para pelaku budaya, kerabat keraton, atau mereka yang mempunyai minat dan ketertarikan dengan masalah budaya. Jika ada kelompok yang masih salah kaprah menyikapi keris, menurut Subandi, hal itu wajar karena mereka pada umumnya masih awam dengan dunia perkerisan.

Namun Subandi menolak jika persoalan ekslusivitas yang menjadikan keris tak terjamah oleh masyarakat awam. "Di ISI (Institut Seni Indonesia) Surakarta sudah ada jurusan keris yang terbuka bagi siapa saja yang ingin belajar. Saya kira itu merupakan salah satu upaya agar masyarakat tidak  lagi tersesat dalam mitos keris sebagai benda sakti," ujarnya.

Dalam pandangan Ronggojati Sugiyatno, keris merupakan produk kriya budaya peradaban yang terus bergerak dinamis, maka keris harus dipahami sebagai bagian yang tak terpisahkan dari seluruh dimensi nilai hidup manusia (Jawa). Secara filosofi, keris menjadi ekspresi nilai-nilai artistik, estetik, etik dan intrinsik dalam satu kesatuan karya kriya budaya. "Kalau kemudian keris diartikan sebagai benda sakti, lantas untuk berbuat macam-macam, ya itu namanya penyalahgunaan oleh pemilik keris," kata dia.

Paguyuban Sutrisno lan Pangrukti Tosan Aji atau Pasupati, sebuah komunitas pencinta keris dan tosan aji di Solo, lewat beberapa pameran mencoba mengubah stigmatisasi masyarakat bahwa keris adalah karya seni, bukan benda sakti. Dalam pameran Tosan Aji di Sitihinggil Kesunanan Surakarta pertengahan bulan juli lalu. Benny Hatmantoro, salah satu panitia pameran, menegaskan hal itu. "Keris yang pada mulanya diciptakan sebagai senjata, kini merupakan benda seni tanpa meninggalkan kekokohan nilai budayanya, "katanya.

Pameran bukan sekadar memajang ratusan keris, tapi juga menunjukkan secara terbuka proses pembuatan keris. Dengan cara itu, menurut Benny, mereka tidak lagi mengistimewakan keris sebagai benda sakti, melainkan karya seni warisan budaya Indonesia yang harus dilestarikan.

Sumber : Gunug Nugroho Adi (Keris-Vol 19 2010) 

0 Response to "Masyarakat Solo dan Pandangannya Mengenai Keris"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel